Senin, 28 November 2016

PERANG BANI QURAIZHAH


PERANG BANI QURAIZHAH[1]

Penghianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian damai dengan kaum Muslimin begitu menyakitkan. Apalagi peristiwa itu terjadi kala kaum Muslimin berada dalam kondisi kritis karena menghadapi pengepungan pasukan sekutu dengan jumlah besar dalam perang Khandaq.[2] Pengkhianatan inilah diantara penyebab terjadinya peperangan baru setelah perang Khandaq. Pengkhianatan itu sendiri diprovokatori oleh Huyay bin Akhthab an-Nadhariy.[3] Perang ini dikenal dengan Perang Bani Quraizhah. Peperangan ini terjadi pada akhir Dzulqa’dah dan awal Dzulhijjah pada tahun ke-5 hijriyah.

Usai perang Khandaq, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang ke Madinah dan meletakkan senjatanya. Namun ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang mandi di rumah Ummu Salamah Radhyallahu anha, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi oleh Malaikat Jibril Alaihissallam dan mengatakan :

قَدْ وَضَعْتَ السِّلَاحَ وَاللَّهِ مَا وَضَعْنَاهُ فَاخْرُجْ إِلَيْهِمْ قَالَ فَإِلَى أَيْنَ قَالَ هَا هُنَا وَأَشَارَ إِلَى بَنِي قُرَيْظَةَ

Kalian sudah meletakkan senjata kalian ? Demi Allâh, kami belum meletakkannya, keluarlah menuju mereka ! Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Kemana ?’ Jibril q menjawab, ‘Kearah sini.’ Jibril Alaihissallam menunjukkan arah Bani Quraizhah. [HR Bukhâri, al-Fath, 15/293, no. 4117] [4]

Menerima perintah ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergegas untuk melaksanakannya dan menginstruksikan kepada para shahabatnya untuk segera bergerak ke arah Bani Quraizhah. Bahkan supaya cepat sampai tujuan, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ

Janganlah ada satupun yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah [HR. Bukhâri, al-Fath, 15/293, no. 4119]

Dalam riwayat Imam Muslim, no. 1770 :

لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الظُّهْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ

Janganlah ada satupun yang shalat Zhuhur kecuali di perkampungan Bani Quraizhah

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Sebagian Ulama mencoba mengkonpromikan (memadukan) dua riwayat (riwayat Bukhâri dan Muslim) yang berbeda di atas dengan (mengatakan) kemungkinan sebagian dari shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunaikan shalat Zhuhur sebelum intruksi itu diberikan, sementara sebagian yang lain belum menunaikan shalat Zhuhur. Untuk para shahabat yang belum menunaikan shalat Zhuhur dikatakan, ‘Jangan ada satupun yang melaksanakan shalat Zhuhur …” dan untuk para shahabat yang sudah menunaikan shalat Zhuhur dikatakan kepada mereka, “‘Jangan ada satupun yang melaksanakan shalat ‘Ashar …” Ada juga sebagian Ulama mengkonpromikannya dengan mengatakan bahwa ada kemungkinan sekelompok dari shahabat berangkat sebelum yang lainnya (red- berangkatnya secara bergelombang). Untuk kelompok pertama dikatakan, (‘Jangan ada satupun yang melaksanakan-pent) shalat Zhuhur …” dan untuk kelompok kedua diakatakan, (‘Jangan ada satupun yang melaksanakan-pent) shalat ‘Ashar …” Kedua metode ini tidak apa-apa.”[5]
Ketika mereka mendapati waktu shalat yang disebutkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut di tengah jalan, sebagian dari mereka mengatakan, “Kita tidak shalat sampai kita tiba di perkampungan Bani Quraizhah.” Sementara yang lain bersikukuh tetap melakukan shalat ‘Ashar pada waktunya, karena mereka memandang bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bermaksud menyuruh para shahabat Radhiyallahu anhum menunda shalat ‘Ashar sampai lewat waktunya. Kemudian dua sikap yang berbeda dalam menyikapi sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dilaporkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencela salah salah satunya.

Setelah menjelaskan beberapa hal berkaitan dengan hadits di atas, Ibnu Hajar al-’Asqalâni rahimahullah mengatakan, “Kesimpulan dari kisah ini yaitu sebagian sahabat ada yang memahami larangan ini sebagaimana zhahirnya. Mereka tidak peduli dengan habisnya waktu, karena mereka lebih menguatkan larangan yang kedua[6] daripada larangan pertama yaitu menunda shalat sampai akhir waktunya. Mereka berdalil dengan bolehnya menunda waktu shalat bagi orang tersibukkan dengan urusan peperangan, sebagaimana yang terjadi dalam perang Khandaq. Telah disebutkan dalam hadits Jâbir bahwa mereka (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat) menunaikan shalat ‘Ashar setelah matahari tenggelam karena tersibukkan dengan urusan perang. Mereka menganggap itu boleh pada semua kesibukan yang terkait urusan perang, terlebih masa itu juga adalah masa penurunan (pembentukan) syari’at.

Sementara sebagian shahabat yang lain memahaminya tidak sebagaimana zhahirnya. (Mereka menganggap) itu adalah kinâyah (sindiran) agar mereka termotivasi untuk bergegas dan berjalan dengan cepat menuju Bani Quraizhah.[7]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat menuju perkampungan Bani Quraizhah bersama tiga ribu pasukan. Setibanya di perkampungan Bani Quraizhah, pasukan kaum Muslimin melakukan pengepungan dan melakukan blokade terhadap Bani Quraizhah. Menurut pendapat yang lebih kuat, pengepungan ini berlangsung selama dua puluh lima hari.[8] Pengepungan ini tentu sangat berdampak bagi Bani Quraizhah. Akhirnya mereka pasrah dan siap menerima sanksi dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menyikapi ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melimpahkan penentuan jenis sanksi yang akan dijatuhkan bagi Bani Quraizhah kepada salah seorang tokoh dari Bani Aus. Karena bani Aus dahulunya merupakan sekutu Bani Quraizhah. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melimpahkannya kepada Sa’ad bin Mu’adz Radhiyallahu anhu yang saat itu tidak ikut serta karena luka-luka yang beliau Radhiyallahu anhu derita dalam perang Khandaq. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengirim utusan kepada Sa’ad Radhiyallahu anhu agar datang. Ketika Sa’ad bin Mu’adz Radhiyallahu anhu sudah mendekati pasukan kaum Muslimin, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada kaum Anshâr :

قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ فَجَاءَ فَجَلَسَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ إِنَّ هَؤُلَاءِ نَزَلُوا عَلَى حُكْمِكَ قَالَ فَإِنِّي أَحْكُمُ أَنْ تُقْتَلَ الْمُقَاتِلَةُ وَأَنْ تُسْبَى الذُّرِّيَّةُ قَالَ لَقَدْ حَكَمْتَ فِيهِمْ بِحُكْمِ الْمَلِكِ

“Berdirilah (sambutlah) sayyid (pemimpin) kalian.” Sa’ad Radhiyallahu anhu mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan duduk. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Sesungguhnya orang-orang ini tunduk kepada hukummu.” Kemudian Sa’ad Radhiyallahu anhu mengatakan, “Hukum yang saya tetapkan yaitu pasukan mereka dibunuh, kaum wanita dan anak ditawan.” (mendengar sanksi ini) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau telah menjatuhkan sanksi kepada mereka sesuai dengan sanksi Allâh Azza wa Jalla [HR. al-Bukhâri dan Muslim]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada para shahabatnya untuk melaksanakan sanksi yang telah ditetapkan oleh Sa’ad bin Mu’ad Radhiyallahu anhu.

Berdasarkan pendapat terkuat, jumlah mereka yang terkena sanksi itu adalah 400 orang. Semua terkena sanksi kecuali sebagian kecil karena mereka menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyatakan keislamannya atau karena mendapatkan jaminan keamanan dari sebagian shahabat atau karena ada keterangan yang membuktikan bahwa dia tetap setia dengan perjanjian ketika terjadi pengepungan. Dan jumlah mereka tidak lebih dari jumlah anggota satu keluarga[9]

Demikianlah akhir dari Bani Quraizhah yang telah mengkhianati perjanjian dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin bahkan bahkan telah berusaha menikam kaum Muslimin dari belakang disaat kaum Muslimin menghadapi musuh yang sangat berat.

PELAJARAN DARI KISAH DI ATAS
1. Negara boleh mengambil keputusan untuk membunuh orang yang melanggar perjanjian. Dan sampai saat ini, banyak negara yang menetapkan untuk membunuh para pengkhianat bangsa

2. Disyari’atkannya berijtihad dalam masalah-masalah furu’ (cabang) dan seandainya pun salah maka dia tidak berdosa. Karena pada shahabat juga berijtihad dalam memahami maksud dari sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang mereka melakukan shalat ‘Ashar atau Zhuhur ketika berangkat ke perkampungan Bani Quraizhah.

3. Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan bahwa mayoritas para Ulama memandang bahwa berdiri menyambut kedatangan orang yang memiliki keutamaan itu dianjurkan. Mereka berdalil dengan sabda Rasuulllah :

قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ أو خَيْرِكُمْ

Berdirilah (sambutlah) sayyid (pemimpin) atau orang terbaik kalian.

Juga berdasarkan hadits lainnya. Berdiri seperi ini tidak termasuk berdiri yang terlarang. Berdiri yang terlarang itu jika mereka berdiri sementara yang dihormati duduk dan dia terus berdiri

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XV/1431H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Diterjemahkan dari as-Sîratun Nabawiyah Fi Dhau’il Mashâdiril Ashliyyah, dengan sedikit tambahan dari Fiqhus Sirah min Zâdil Ma’âd dan Fathul Bâri
[2]. Lihat edisi 02/XV, pada rubrik Sirah, Perang Khandaq.
[3]. Diriwayatkan oleh Abdurrazâq dalam al-Mushannaf (5/368-373) dari mursal Sa’id bin al-Musayyib. Riwayat ini layak dijadikan pegangan karena memiliki banyak riwayat pendukung. Juga diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Dalail beliau rahimahullah (lihat as-Sîratun Nabawiyah Fi Dhau’il Mashâdiril Ashliyyah, hlm. 459)
[4]. Lihat Fiqhus Sîrah min Zâdil Ma’âd, hlm. 235 dan as-Sîratun Nabawiyah Fi Dhau’il Mashâdiril Ashliyyah, hlm. 459)
[5]. Dalam masalah ini terdapat dua larangan; Pertama, larangan menunda shalat sampai akhir waktu. Kedua, larangan menunaikan shalat kecuali kalau sampai di perkampungan Bani Quraizhah. Para shahabat yang melaksanakan sabda Rasûlullâh n apa adanya, lebih menguatkan larangan yang kedua dan menerjang larangan yang pertama.-pent
[6]. Fathul Bâri, 15/294, kitab al-Maghâzi
[7]. Berdasarkan riwayat Imam Ahmad, al-Fathurrabbani 21/81-83. para perawinya adalah para perawi yang bisa dijadikan sebagai hujjah. (lihat as-Sîratun Nabawiyah Fi Dhau’il Mashâdiril Ashliyyah, hlm. 460)
[8]. ihat as-Sîratun Nabawiyah Fi Dhau’il Mashâdiril Ashliyyah, hlm. hlm. 461

Jumat, 25 November 2016

KISAH NABI ADAM AS.


Admin : Abdul.K.S

.
KISAH NABI ADAM AS.

Nama : Adam
Usia : 930 tahun
Periode sejarah : 5872 - 4942 SM
Tempat turunnya:  di bumi India, ada yang berpendapat di Jazirah Arab
Jumlah keturunannya (anak):  40 (laki-laki dan perempuan)
Tempat wafat: India, ada yang berpendapat di Mekah
di Al-Quran namanya disebutkan sebanyak 25 kali
Adam (berarti tanah, manusia, atau cokelat muda) atau Nabi Adam as sebagai manusia pertama, bersama dengan istrinya, Hawa. Merekalah orang tua semua manusia di dunia.

Inilah sejarah dan kisah nabi Adam as berdasarkan himupunan berbagai sumber:

Penciptaan Adam

Setelah Allah SWT. menciptakan bumi, langit, dan malaikat, Allah berkehendak untuk menciptakan makhluk lain yang nantinya akan dipercaya menghuni, mengisi, serta memelihara bumi tempat tinggalnya. Saat Allah mengabari para malaikat akan kehendak-Nya untuk menciptakan manusia, mereka khawatir makhluk tersebut nantinya akan membangkang terhadap ketentuan-Nya dan melakukan kerusakan di muka bumi. Berkatalah para malaikat kepada Allah:

"Mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" (Q.S. Al-Baqarah [2]:30)

Allah kemudian berfirman untuk menghilangkan keraguan para malaikat-Nya:

"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S. Al-Baqarah [2]:30)

Lalu diciptakanlah Adam oleh Allah dari segumpal tanah. Setelah disempurnakan bentuknya, maka ditiupkanlah roh ke dalamnya sehingga ia dapat bergerak dan menjadi manusia yang sempurna. Awalnya Nabi Adam a.s. ditempatkan di surga, tetapi terkena tipu daya iblis kemudian diturunkan ke bumi bersama istrinya karena mengingkari ketentuan Allah.

Adam diturunkan dibumi bukan karena mengingkari ketentuan, melainkan dari sejak akan diciptakan, Allah sudah menunjuk Adam sebagai khalifah di muka bumi. jadi meskipun tidak melanggar ketentuan (Allah) adam akan tetap diturunkan kebumi sebagai khalifah pertama.
Adam merupakan nabi dan juga manusia pertama yang bergelar khalifah Allah yang dimuliakan dan ditinggikan derajatnya. Ia diutus untuk memperingatkan anak cucunya agar menyembah Allah. Di antara sekian banyak anak cucunya, ada yang taat dan ada pula yang membangkang.

Kesombongan iblis (setan)

Saat semua makhluk penghuni surga bersujud menyaksikan keagungan Allah itu, hanya iblis (setan) yang membangkang dan enggan mematuhi perintah Allah karena merasa dirinya lebih mulia, lebih utama, dan lebih agung dari Adam. Hal itu disebabkan karena setan merasa diciptakan dari unsur api, sedangkan Adam hanyalah dari tanah dan lumpur. Kebanggaan akan asal-usul menjadikannya sombong dan merasa enggan untuk bersujud menghormati Adam seperti para makhluk surga yang lain.

Disebabkan oleh kesombongannya itulah, maka Allah menghukum setan dengan mengusirnya dari surga dan mengeluarkannya dari barisan para malaikat disertai kutukan dan laknat yang akan melekat pada dirinya hingga kiamat kelak. Disamping itu, ia telah dijamin sebagai penghuni neraka yang abadi.

Setan dengan sombong menerima hukuman itu dan ia hanya memohon kepada-Nya untuk diberi kehidupan yang kekal hingga kiamat. Allah memperkenankan permohonannya itu. Tanpa mengucapkan terima kasih dan bersyukur atas pemberian jaminan itu, setan justru mengancam akan menyesatkan Adam sehingga ia terusir dari surga. Ia juga bersumpah akan membujuk anak cucunya dari segala arah untuk meninggalkan jalan yang lurus dan menempuh jalan yang sesat bersamanya. Allah kemudian berfirman bahwa setan tidak akan sanggup menyesatkan hamba-Nya yang beriman dengan sepenuh hati.

Pengetahuan Adam

Allah hendak menghilangkan pandangan miring dari para malaikat terhadap Adam dan menyakinkan mereka akan kebenaran hikmah-Nya yang menyatakan Adam sebagai penguasa bumi, maka diajarkanlah kepada Adam nama-nama benda yang ada di alam semesta yang kemudian diperagakan di hadapan para malaikat. Para malaikat tidak sanggup menjawab firman Allah untuk menyebut nama-nama benda yang berada di depan mereka dan mengakui ketidaksanggupan mereka dengan mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui sesuatupun kecuali apa yang diajarkan-Nya.

Adam lalu diperintahkan oleh Allah untuk memberitahukan nama-nama benda itu kepada para malaikat dan setelah diberitahu oleh Adam, berfirmanlah Allah kepada mereka bahwa hanya Dialah yang mengetahui rahasia langit dan bumi serta mengetahui segala sesuatu yang nampak maupun tidak nampak.
Adam menghuni surga

Adam diberi tempat oleh Allah di surga dan baginya diciptakan Hawa untuk mendampingi, menjadi teman hidup, menghilangkan rasa kesepian, dan melengkapi fitrahnya untuk menghasilkan keturunan. Menurut cerita para ulama, Hawa diciptakan oleh Allah dari salah satu tulang rusuk Adam sebelah kiri sewaktu beliau masih tidur sehingga saat beliau terjaga, Hawa sudah berada di sampingnya. Allah berfirman kepada Adam:

"Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu syurga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim." (Q.S. Al-Baqarah [2]:35)

Tipu daya setan

Sesuai dengan ancaman yang diucapkan saat diusir oleh Allah dari surga akibat pembangkangannya, setan mulai merancang skenario untuk menyesatkan Adam dan Hawa yang hidup bahagia di surga yang tenteram dan damai.

Bujuk rayunya dimulai saat ia menyatakan kepada mereka bahwa ia adalah kawan mereka yang ingin memberi nasihat dan petunjuk untuk kebaikan dan kebahagiaan mereka. Segala cara dan kata-kata halus digunakan oleh iblis untuk membuat Adam dan Hawa terbujuk. Ia membisikkan kepada mereka bahwa larangan Allah kepada mereka untuk memakan buah dari pohon terlarang adalah karena mereka akan hidup kekal sebagai malaikat apabila memakannya. Bujukan itu terus menerus diberikan kepada Adam dan Hawa sehingga akhirnya mereka terbujuk dan memakan buah dari pohon terlarang tersebut. Jadilah mereka melanggar ketentuan Allah sehingga Dia menurunkan mereka ke bumi. Allah berfirman:

"Turunlah kamu! Sebahagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan." (Q.S. Al-Baqarah [2]:36)

Mendengar firman Allah tersebut, sadarlah Adam dan Hawa bahwa mereka telah terbujuk oleh rayuan setan sehingga mendapat dosa besar karenanya. Setelah taubat mereka diterima, Allah berfirman:

"Turunlah kamu dari syurga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati."
Lokasi Adam dan Hawa turun ke bumi

Turunlah mereka berdua ke bumi dan mempelajari cara hidup baru yang berbeda jauh dengan keadaan hidup di surga. Mereka harus menempuh kehidupan sementara dengan beragam suka dan duka sambil terus menghasilkan keturunan yang beraneka ragam bentuknya.
Di dalam kitab ad-Durrul Mantsur, disebutkan "Maka kami katakan, 'Turunlah kalian ... ", dari Ibnu Abbas, yakni: Adam, Hawa, Iblis, dan ular. Kemudian mereka turun ke bumi di sebuah daerah yang diberi nama "Dujjana", yang terletak antara Mekah dan Thaif. Ada juga yang berpendapat Adam turun di Shafa, sementara Hawa di Marwah. Telah disebutkan dari Ibnu Abbas juga bahwa Adam turun di tanah India.

Diriwayatkan Ibnu Sa'ad dan Ibnu Asakir dari Ibnu Abbas, dia mengatakan, Adam diturunkan di India, sementara Hawa di Jeddah. Kemudian Adam pergi mencari Hawa sehingga dia mendatangi Jam'an (yaitu Muzdalifah atau al-Masy'ar). Kemudian disusul (izdalafat) oleh Hawa. Oleh karena itu, tempat tersebut disebut Muzdalifah.

Diriwayatkan pula oleh Thabrani dan Nua'im di dalam kitab al-Hilyah, serta Ibnu Asakir dari Abu Hurairah, dia bercerita, Rasulullah saw bersabda: "Adam turun di India."
Sementara Ibnu Asakir menyebutkan ketika Adam turun ke bumi, dia turun di India.
Di dalam riwayat Thabrani dari Abdullah bin Umar disebutkan :

"Ketika Allah menurunkan Adam, Dia menurunkannya di tanah India. Kemudian dia mendatangi Mekah, untuk kemudian pergi menuju Syam (Syria) dan meninggal disana." (HR. Thabrani)

Dari riwayat-riwayat secara global disebutkan bahwa Adam turun ke bumi, dia turun di India (Semenanjung Syrindib, Ceylan) di atas gunung yang bernama Baudza. Di dalam kitab Rihlahnya, Ibnu Batuthah mengatakan: "Sejak sampai di semenanjung ini, tujuanku tidak lain, kecuali mengunjungi al-Qadam al-Karimah. Adam datang ketika mereka tengah berada di semenanjung Ceylan".
Syaikh Abu Abdullah bin Khafif mengatakan: "Dialah orang yang pertama kali membuka jalan untuk mengunjungi al-Qadam."

Lokasi Makam Adam

Sementara makam Adam as sendiri ada yang mengatakan terletak di gunung Abu Qubais. Ada juga yang mengatakan di gunung Baudza, tanah dimana dia pertama kali turun ke bumi. Dan ada juga yang berpendapat, setelah terjadi angin topan, Nuh as mengulangi pemakamannya di Baitul Maqdis.
Dan kami menarjih apa yang diriwayatkan Thabrani, Ibnu al-Atsir, dan al-Ya'qubi, bahwa Adam setelah Allah SWT memberikan ampunan kepadanya, dibawa oleh Malaikat Jibril ke Jabal Arafat. Disana Jibril mengajarinya manasik haji. Dia meninggal dan dimakamkan di tepi Jabal Abu Qubais.

Kisah Adam dalam Al-Quran

Seperti telah disampaikan di atas bahwa nama Adam as dalam Al-Quran disebutkan 25 kali dalam 25 ayat, yaitu :

Surat Al-Baqarah [2] : ayat 31, 33, 34, 35, dan 37
Surat Al-Imran [3] : ayat 33 dan 39
Surat Al-Maidah [5] : ayat 27
Surat Al-A'raaf [7] : ayat 11, 19, 26, 27, 31, 35, dan 127
Surat Al-Israa' [28] : ayat 50
Surat Maryam [19] : ayat 58
Surat Thaaha [20] : ayat 115, 116, 117, 120, dan 121
Surat Yaasin [36] : ayat 60

Referensi Sejarah Nabi Adam As:

* Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para Utusan Allah, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
* Dr. Syauqi Abu Khalil, Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta dan Foto, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
* Ibnu Katsir, Qishashul Anbiyaa', hlm 24.
* Ibnu Asakir, Mukhtashar Taarikh Damasyaqa, IV/224.
* ats-Tsa'labi, Qishashul Anbiyaa' (al-Araa'is), hlm 36.
* Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs. A. Faruq Nasution), Al-Quran Terjemah Indonesia, Penerbit PT. Sari Agung, Jakarta, 2004
* Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Quran, Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata, Syaamil International, 2007.
* alquran.bahagia.us, keislaman.com, dunia-islam.com, Al-Quran web, id.wikipedia.org, PT. Gilland Ganesha, 2008.
* Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, Mutiara Hadist Shahih Bukhari Muslim, PT. Bina Ilmu, 1979.
* Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka, Bandung, 2008.
* M. Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008.
* Al-Bayan, Shahih Bukhari Muslim, Jabal, Bandung, 2008.
* Muhammad Nasib Ar-Rifa'i, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 1999.